Senin, 22 Februari 2021

1. Menghadapi Keabadian :

 

1. Menghadapi Keabadian : Swadika, Talenta, Visekha
Data lama :
Yang perlu kita fahami, sadari dan hadapi tampaknya bukan sekedar kegilaan insani atau kematian alami namun terutama kelupaan abadi akan kesejatian diri dalam setiap episode permainan keabadian yang disebut (siklus) kehidupan (dan kematian) ini. 

Prolog :
Pada hakekatnya kita adalah makhluk spiritual yang menjalani peran sbg manusia ketimbang sbg manusia yang menjalani tugas spiritual..Kita hanyalah ketiadaan yang diadakan dalam keberadaan untuk sekedar sederhana mengada tanpa perlu mengada-ada dihadapanNya...betapa indahnya kehidupan jika kita tiada ragu untuk mampu hadir dalam kesederhanaan yang murni, tulus apa adanya tanpa perlu membalutnya dengan kemasan kesempurnaan yang walaupun mungkin tampak indah dan megah namun semu dalam kesejatiannya. 

Terlepas dari prasangka asumtif nivritti negatif tersuratnya (KM4 Dukkha, Nibidda, dst) , tanpa referensi Buddhisme wawasan spiritualitas bukan hanya terasa hambar & dangkal levelnya namun bisa jadi salah arah dalam keterpedayaan samsarik ?.
Kutipan :
Tiga Pesan Abadi keheningan kosmik yang diungkapkan para Buddha : Jauhi kejahatan, jalani kebajikan, sucikan fikiran  
  
Link Data: www.tiny.cc/dhammapada-183Bro Billy Tan (p. 12 - 20)
Link video : Dhammadipateyya (Paradigma Berpandangan : Dhamma-Oriented ) Bhante Pannavaro 
Link video : Arogya parama labha (kesehatan adalah keuntungan utama)  Pencerahan Magandiya Sutta Bhante Pannavaro 
Well, Salut kepada Buddha yang menempatkan synthesis keswadikaan di atas thesis kebahagiaan untuk pencerahan kebebasanNya dari antithesis dukkha  kesemuan  "penderitaan".

Berikut adalah tabel alternative teparinama penempuhan "kontemporer" bagi etika pacekka (atau mungkin juga Buddha Savaka ?)

No

Level

Saddha  

(peningkatan kefahaman Dhamma : pengetahuan ,penmpuhan, penembusan)

Sila  revised

(pakati + pannati : varita & carita)

Samadhi

(Samatha Pemantapan keberimbangan + Vipassana pemurnian

Kebijaksanaan

Panna

Dhamma Vihara

(Kelayakan terniscayakan)

Prior Input

Final Output

1

Elementary

Suta maya paññā (intelek)

Pancasila

Appana & Khanika

Diba Vihara (surga ?)

Padaparama dihetuka

Neyya tihettuka

2

Intermediate

Cintā maya paññā (intuisi)

Atthasila

Jhana (lokiya & lokuttara)

Brahma Vihara   (Ilahi?)

Vehapala  (rupa + arupa?)

Gotrabu Anuloma

3

Advance

Bhāvanā maya paññā (insight)

Samanasila

Magga & Phala   (irreversible ?)

Ariya Vihara (murni?)

Sekha

Asekha ?

Mengenai cara penempuhan sudah banyak referensi yang diberikan bagi realisasi ini. Para Seeker bisa menanyakan langsung pada para Bhante atau Guru spiritual /Pemandu Meditasi yang bukan hanya lebih berkompeten namun juga sesungguhnya ini wilayah mereka yang sudah sepantasnya bagi kita yang di luar sasana untuk tahu diri, tahu malu dan tahu sila untuk tidak 'tranyakan' melanggar bukan hanya area kewenangan mereka namun juga wilayah kesemestaan bersama yang beragam ini. Walau sebagai seeker kita telah memahami akan proses saddha KM4/ JMB 8 dalam triade sila-samadhi-panna untuk dijalani,.  semisal : chart Pa Auk Sayadaw, etc (juga : Ajahn Chah, Bhante Punnaji, Bhante Vimalaramsi, dsb) 

Harusnya terbalik urutannya dari logika proses penempuhannya  & by product peniscayaannya (Sila- Samadhi-Panna untuk Vihara kelayakannya ). 
Tersenyum seperti Buddha 
(Smile like a Buddha ... not as a Buddha ? ) 
Be Realistics to Realize the Real
Tersenyumlah seperti Buddha walau itu memang masih 'fake' (semu) dan tidak 'real'(nyata).
Ini bukan dimaksudkan untuk 'memotivasi' diri bagi kesombongan pencitraan diri dengan melagakkan seakan pencapaian keniscayaan telah terjadi hanya dengan cara itu.
Ini dimaksudkan untuk mengarahkan diri untuk kebijaksanaan penyadaran diri dengan melayakkan peniscayaan keniscayaan yang secara murni dan alami seharusnya terjadi.
Senyum kearifan Ariya yang melampaui sikap positif apalagi negatif.

Bagi Dia yang sudah terjaga itu ekspresi authentik 
Bagi kita yang belum terjaga itu exercise holistik

Tersenyum seperti Buddha 
karena terfahami secara intelektual simsapa kebenaran spiritual
Kecakapan Pandangan benar akan mengarahkan fikiran benar (kesadaran notion batin)
Kecakapan fikiran benar akan mengarahkan tindakan bajik (ketulusan dana sila etc)
Kecakapan tindakan bajik akan mengarahkan asset mulia (kemurnian punna kusala )
Dhamma indah pada awalnya dengan terlampauinya tataran eksistensial diri
(harmoni dunia - terhindar apaya - terlayakkan surga = Dibba Vihara )

Tersenyum mengarah Buddha 
karena tercapai secara meditatif acinteya hakekat kenyataan spiritual
Paska asset mulia terus lanjutkan Adhi-Sila (alobha -adosa - amoha : tihetuka)
Paska Adhi-Sila terus lanjutkan Adhi-Citta (Samma Samadhi : Jhana Brahma )
Paska Adhi-Citta terus lanjutkan Adhi-Panna (Samma Vipasana: Gotrabu Nana?) 
Dhamma indah pada pertengahannya dengan terlampauinya tataran universal diri
(harmoni batin - terlampaui moksa - terlayakkan magga  = Dhamma Vihara )

Tersenyum sebagaimana Buddha 
karena terbukti secara insight advaita desain labirin permainan spiritual
Dengan masaknya Adhi-Panna layaklah Realisasi Keterjagaan (nibbana: pemurnian magga/phala  )
Dalam Realisasi Keterjagaan layaklah Realisasi Kebijaksanaan (panna: sabbanutta/ patisambhida?)
Dalam Realisasi Kebijaksanaan layaklah Realisasi Ketercerahan (kiriya: kusala  non karmik?)
Dhamma indah pada akhirnya dengan terlampauinya tataran transendental diri 
(harmoni - terbuka nibbana - terlampaui samsara  = Ariya Vihara )

Dhamma akan melindungi siapapun yang menempuhnya dengan benar, tepat dan sehat.
Teruslah memperjalankan 'diri' demi semakin terjaganya orientasi, kualifikasi & realisasi
Jalani saja proses penempuhannya secara murni tanpa perlu ambisi/obsesi yang menghalangi.
Layakkan diri sebagaimana kaidah Niyama Dhamma meniscayakan pelayakannya secara alami.
Terima, kasihi dan lampaui segala episode penempaan diri sebagaimana ariya nantinya.
Layakkan diri sebagai Ariya ... maka jikapun nibbana pembebasan belum (mampu/perlu?) tercapai , maka keterjagaan, kebijaksanaan dan ketercerahan akan membawa keswadikaan, keberdayaan, dan kebahagiaan dimanapun wilayah, bagaimanapun suasana dan apapun peran zenka keabadian yang dijalani .... Pada hakekatnya, Samsara hanyalah ilusi mimpi dari Nibbana bagi semuanya.

1a. Swadika :
Swadika  berkaitan dengan level esensi Panna untuk bawaan kelanjutan.
Tabel 10 level Kesadaran Gnosis  


Dimensi

Tanazul Genesis KeIlahian

Taraqi  Eksodus Pemurnian

Simultan progress Triade

Transendental

ESENSI MURNI

? ! . 

Transendental

 ajatam

abhutam

Panna

(theravada?)

Universal

akatam

asankhatam

Eksistensial

Asekha ?

Nibbana

Universal

ENERGI ILAHI nama brahma 

Transendental

Anagami

suddhavasa

Samadhi

(vajrayana ?)

Universal

Anenja

arupavacara

Eksistensial

Vehapala >Abhasara

rupavacara

Eksistensial

MATERI ALAMI rupa kamavacara

Transendental

Mara/Kal, ...

triloka

Sila 

(mahayana?)

Universal

Yama , Saka, ...

svargaloka

Eksistensial

asura? < Bhumadeva   

apayaloka

10 ? transendental 3 + universal 3 + eksistensial 3 = 9 ?  9 dimensi mandala di atas + 1 for Indefinitely Infinitum ( Realitas Aktual Transenden > Fenomena Formal Immanen dari personal laten deitas  ) for humbling in progress to mystery. 

Tentang KeIlahian  (Tuhan : Tao - Dhamma ) :

Tuhan bukan bemper kebodohan/kemanjaan diri, media katarsis psikologis /transaksi pencitraan   dan kloset pembenaran pemfasikan/ kezaliman kepada lainnnya).  
Perlu kebijaksanaan universal. keperwiraan eksistensial, dan  keberdayaan transendental dalam spiritualitas

Tauhid sufism Ibn Araby  : tanzih -tasbih (transenden/imanen) Jika kau memandangnya tanzih semata kau membatasi Tuhan. Jika kau memandangnya tasbih belaka kau menetapkan Dia Namun jika kau menyatakanNya tanzih dan tasybih; kau berada di jalan Tauhid yang benar Sufi Ibn Arabi  memandang  KeIlahian Tuhan secara Esa - utuh dalam keseluruhan. Tuhan dipandang sekaligus sebagai Dzat Mutlak yang kekudusanNya tak tercapai oleh apapun/siapapun juga (transenden/tanzih) namun keluhuranNya meliputi segala sesuatu (immanen/ tasybih) sehingga walaupun pada dasarnya Kekudusan dan kesempurnaan Tuhan secara intelektual tak terfahami (agnosis)dengan keberadaan yang mungkin terlalu agung untuk kemudian tak diPribadikan(impersonal) dan mandiri (independent) namun  kemulian IlahiahNya sering  disikapi sebagai figur yang berpribadi(personal) dan Dharma kehendakNya dapat difahami(gnosis)  sehingga  memungkinkan terjadinya hubungan antara makhluk dengan Tuhan sesuai dengan ketentuanNya (dependent).Tanpa Tuhan, tidak ada segalanya Karena Tuhan, bisa ada segalanya. (wajibul & mumkimul Wujud )

Tao adalah Tao - jikakau bisa menggambarkannya itu pasti bukan Tao 

Dalam kitab suci Uddana 8.3 Parinibbana (3) Buddha bersabda : O,bhikkhu ; ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak menjelma,tidak tercipta, Yang Mutlak Jika seandainya saja tidak ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak menjelma,tidak tercipta, Yang Mutlak tersebut  maka tidak akan ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran penjelmaan ,pembentukan , dan pemunculan  dari sebab yang lalu. Tetapi karena ada sesuatu yang tidak dilahirkan,tidak  menjelma, tidak tercipta, Yang Mutlak tersebut maka ada jalan keluar kebebasan dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu itu. Ini secara tidak langsung mungkin menunjukkan dua hal sekaligus ,yaitu : kesaksian akan adanya keilahian yang diistilahkan sebagai ‘yang tak terbatas” dan yang kedua penjelasan bahwa nibbana   pencerahan sebagai puncak pencapaian spiritualitas Buddhisme hanya mungkin terjadi karena adanya ‘Yang tak terbatas’ tersebut. 
plus link : konsep Ketuhanan Yang Mahaesa dalam agama (https://khmand.wordpress.com/2008/08/20/konsep-tuhan-dlm-agama-buddha/)
Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam yang artinya “Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan dan Yang Mutlak”. Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasikan dan yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak, yang tidak berkondisi (asankhata) maka manusia yang berkondisi (sankhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan (samsara) dengan cara bermeditasi.
Well, sejujurnya tinggal selangkah lagi Saddhamma ini untuk menjadi Paramattha Sanatana Dhamma yang memuliakan kebenaran & keilahian secara murni & sejati sebagai Theosofi Panentheistik tauhid yang merengkuh seluruh paradigma yang ada ... Idea Buddha Shiva ? But, skenario samsarik  (termasuk sunnakalpa & era Buddha Maeteya, Lokabyuha & siklus pralaya, etc) tampaknya memang tetap perlu berlanjut demi keberlangsungan keseluruhan pelangi biasan keberagaman dari Satu mentari yang sama.

Dr. Ali Shariati melambangkan 1 adalah Hyang Esa, 0 adalah makhlukNya.  Meminjam istilah beliau ; berikut adalah paradigma kerobbanian yang menjadi orientasi awal bagi ketawaddhuan yang juga akan kembali menjadi  realisasi akhir bagi kecerdasan manusia. (*) = 1 tetap bernilai walau 0 tidak ada. 0 tidak bernilai jika 1 tidak ada. Maksudnya = Tuhan tetap ada walaupun makhluk ada ataupun tidak ada. Tuhan (kholik) adalah wajibul wujud yang keberadaanNya mutlak adanya ; selain itu (makhluk) adalah mumkimul wujud yang keberadaannya relatif adanya ~ bisa ada, bisa juga tidak ada ~ terserah dan berserah kepada kehendakNya. Tanpa Tuhan, segalanya tidak akan pernah ada. Tanpa segalanya sekalipun, Tuhan tetap ada.  Dia adalah  Hakekat yang merupakan penyebab dan kembali segala yang ada (baca: diadakan untuk mengada jadi tidak perlu terlalu meng-ada ada). (*) = 1 dibagi 0 tak terhingga ; 0 dibagi 1 tak berharga. Maksudnya = Pribadi yang berkarakter kuat dan cerdas adalah pribadi dengan kekuatan dan kecerdasan yang tumbuh berkembang karena ketawadhuan bukan dengan ketakaburan. 0 dibagi 1 tetaplah 0 – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri dengan ketakaburan. (Lemah dan rapuh karena sesungguhnya :Tiada daya upaya tanpa izinNya.)  Namun … 1 dibagi 0 adalah tak terhingga – ini gambaran kecerdasan dan kekuatan diri karena ketawaddhuan. (Senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keridhoan dan petunjukNya). (*) = 1 di depan 0 jauh bernilai dibanding 0 di depan 1 . Maksudnya = Jadilah pribadi 10; Pribadi yang mengedepankan Tuhannya diatas segalanya (termasuk dirinya sendiri). 0 didepan 1 dibelakang hanyalah bernilai 1 (satu) – ini gambaran pribadi yang mengedepankan selainNya pada kehidupan. Amaliah menjadi tak sempurna karena syirik, pribadi tidak konsisten karena terombang-ambing kepentingan duniawi/ kebanggaan berpribadi. Bahkan jika pada akhirnya yang satu (1) itu menjadi hilang, maka seluruh kehidupan kita tinggal 0 (baca: nol besar). 

Plus: hipotesa teoritis  3 (tiga) fase (Mandala.  
Dari secret data lama kami (maaf ... dulu memang lebai masih naif & liar .... sekarang ? makin parah & payah, hehehe ) Gnosis Publik  p.7
Dhyana Dharma Keberadaan :
Fase 1 :  Fase KeMaha-Adaan Absolut Tuhan. purwaning Dumadi  ( Dhyana ® Swadika ! )
Fase 2 : fase peng’ada’an. KeEsaan karena Tuhan. sangkaning Dumadi  ( Dharma ® Kehendak Ilahi )
Fase 3 : fase keberadaan  Keesaan di dalam Tuhan gumelaring Dumadi  ( Tanazul ®Keberadaan Mandala )
Dharma Dhyana Keberadaan :
Fase 3 : fase keberadaan  Keesaan di dalam Tuhan gumelaring Dumadi  ( Tanazul ®Keberadaan Mandala )
Fase 4 : fase peniadaan. Keesaan kembali ke Tuhan. paraning Dumadi ( Taraqqi ®Mandala Keberadaan )
Fase 5 : fase KeMaha-Adaan Absolut Tuhan. purnaning Dumadi ( Dhyana ® Pralaya ? )
Well, ini hipotesa teoritis dari 3 (tiga) fase (Mandala Tiada Samsara - Mandala dengan Samsara - Mandala Tanpa Samsara).  
1.Mandala Tiada Samsara, ( Fase hanya Dhyana > Dhamma ) 
Transenden = Transendental - Universal  - Eksistensial  (Esa - yang ada hanya Dia Sentra Yang Esa ) 
2. Mandala Dengan Samsara, (Fase  dalam Dhamma < Dhyana )
Transenden = Transendental , Universal  , Eksistensial  (Segalanya ada  karena Dia  Sentra Yang Esa) 
Tanazul Genesis = emanasi , kreasi , ekspansi ? 
2.1. Awal : Mandala Pra Samsara  
Transendental : keterjagaan esensi / zen ? Nibbana 
Universal  : keterlelapan energi / nama  Brahma : arupa & rupa , 
Eksistensial  : kebermimpian etheric / rupa Kamavacara : dunia - surga & apaya  
2.2.. Kini : Samsara Pra Pralaya  
Dunia :  sd pralaya  Svarga : sd pralaya (paska dunia ) - Apaya :  sd pralaya ( lokantarika ?) -  Brahma : sd pralaya ( abhasara etc  Nibbana : sd advaita ? 
2.3. Nanti : Samsara Paska Pralaya (versi Buddhism ? ) 
Lokantarika : residu rupa paska terkena pralaya : dunia - apaya - svarga - hingga rupa brahma Jhana 1 sd 3 (mengapa ?)
Brahmanda : restan nama tidak terkena pralaya : Sudhavasa + Anenja /& Rupa Brahma : Jhana 4 untuk kemudian 3 - 2 ( abhasara )  
Lokuttrara : bebas dari samsara & pralayanya : Asekha nibbana ( eksistensial ? + universal & transendental-nya)  
What's next ? 
- Siklus fase ke 2 Mandala Dalam Samsara berlanjut lagi (Kisah kasih nama rupa Brahmanda Lokantarika bersemi kembali sebagaimana biasanya ? ... kecuali lokuttara & suddhavasa harusnya plus vehapala yang masih mantap & anenja yang masih terlelap juga ..... 
Asaññasatta ?)  
- atau... kembali ke fase 1 (kemanunggalan azali karena pencerahan keseluruhan/& keterjagaan Dia Sentra Yang Esa) 
- atau haruskah ada fase 3 (kemusnahan total karena kekacauan keseluruhan & kebinasaan Dia  Sentra Yang Esa ) 
3. Mandala Tanpa Samsara  (Fase  tanpa Dhamma - tiada Dhyana )  
tiada  Eksistensial - Universal  -  Transendental    (Segalanya tiada  tanpa Dia Sentra Yang Esa )  
Adakah Sentra dengan sigma & zenka lain ? Maha Sentra Utama ? dst dsb dll 
idea tidak lagi dibahas bisa keluar jalur ? : Spekulasi Rimba Pendapat tak perlu karena hanya memboroskan energi, perdebatan tak perlu  & sama sekali bukan upaya yang perlu untuk bersegera dalam penempuhan keberdayaan aktual ? Samsara pribadi (eksistensial ) saja belum diketahui awalnya dan akhirnya (kejujuran nirvanik Buddha ), apalagi samsara semesta (universal) terlebih lagi transendental (mengapa ?).

Kutipan :
Jika telah tiba di wilayah kesadaran non alam samsarik nibbana... congrats. Selamat atas keterjagaan dari perjalanan tidur panjang penuh mimpi. selamat datang di rumah sejati esensi murni.
Sikapi "Kebebasan" ini sebagai kebenaran pencerahan berkelanjutan bukan perayaan ke"aku'an untuk lengah terlelap lagi. Walaupun karena magga phala meniscayakan keberadaan & tindakan kiriya yang suci (selama belum parinibbana khanda Ariya Buddha tetap tidak terbebas dari 12 dampak karmik buruk kehidupan lampauNya juga Bhante Moggalana. Bhikkhu arahata sekalipun tetap bisa melakukan kesalahan (terinjaknya serangga oleh arahata karena buta, peraturan vinaya sanghadisesa merukunkan duniawi ?) walau tanpa sengaja/ tak diketahui. Namun totally, inilah realisasi dambaan neyya buddhist untuk terbebas dari dukkha .... terjaga dari mimpi samsarik. Pulang kembali ke rumah sejati. Hanya yang telah melampaui (ariya nibbana) bisa menghadapi kembali (samsara) dengan lebih baik lagi (kiriya x karma) dan karenanya wilayah samsara ini tidak lagi tepat bagi yang telah lulus/ lolos darinya. Keswadikaan nyata yang bukan hanya melampaui penderitaan namun juga kebahagiaan. (magandiya sutta)
By the way, just kidding ... ada  versi/type samsara baru di wilayah ini ? samsara ini saja yang walau hanya delusif tidak chaotik sudah cukup menyusahkan kita dalam memahaminya  apalagi layak menembus dan melampauinya. Niyama Dhamma memang cukup mantap menjaga kaidah kosmik secara impersonal transenden... namun ketidak-segeraan dampak karmik, keterlupaan memory pra rebirth terlebih lagi tampak begitu 'rea'l-nya delusif fantasi keberadaan attha pada nama figur mimpi & sensasi kebahagiaan akan rupa (sulit untuk parichedanana?) benar-benar melengahkan dan menyesatkan (dan bahkan  karena ketidak mengertiannya tidak sengaja apalagi terencana  bukan hanya tidak mencerahkan namun bahkan saling menyesatkan lainnya walaupun dengan kepolosan, ketulusan dan kesadaran ).
Dalam senyum holistik di rupang keBuddhaanMu intuisi saya mengatakan masih ada. Namun mungkin biarkan dia tersirat sebagai rahasia. Kebijaksanaan (bukan kesempurnaan) adalah mahkota akhir bagi kita semua. Setidaknya Realitas Nibbana sebagai rumah sejati bagi esensi murni dari drama kosmik Fenomena Samsara telah kembali ditemukan dan bisa direalisasikan lagi  (walau sulit ... terutama bagi saya tentunya. padaparama diluar sasana yang masih naif dan liar. perokok berat pecandu kopi lagi ... avijja & tanha masih kuat ).
Panna Phasa Kedukkhaan bukan tanha vedana kebahagiaan Realistics  thesisnya, keaniccaan proses perubahan bukan kekekalan masif Real antithesisnya, keAnnataan Panca khanda bukan keberadaan" figure delusif" Realize synthesisnya. Intinya kita hanya dan harus melampaui internal individualitas diri sendiri ... asava kilesha diri bukan yang lain. Itulah (mungkin... saya harus tahu malu , tahu diri dan tahu sila pada autoritas wilayah acinteya yang belum saya capai)  puncak kebijaksanaan nirvanik yang melampaui drama kosmik mimpi delusif samsara.
Sedangkan .... maaf ini agak nekat ('gila'-istilah Khalil Gibran) tentang kesempurnaan walau saya seharusnya lebih tahu malu, tahu diri dan tahu sila pada Realitas wilayah advaita yang mustahil dicapai. Advaita Taoisme lebih menyukai istilah keberimbangan holistik untuk dinamis berkembang ketimbang kesempurnaan absolut yang sangat stagnan. Advaita vedanta dalam Brahma Vidya menterminologinya dalam istilah saguna -niskala (? saya lupa istilahnya ... sudah sarat memory otak  tua ini). Atau simple-nya (istilah pakar komputer) sistem keamanan jika berjalan 100 % sempurna maka dia (malah) tidak akan bisa jalan. Newton (semoga saya tidak salah mengingat referensi buku lama) seorang scientist namun saat itu dia mengatakan agak filosofis tentang keteraturan kosmik yang perlu "Tuhan" yang direferensikan sebagai pengaturnya (walau jika ternyata Diapun .. maaf ...tidak ada) . Buddha-pun mengistilahkan ini sebagai "ajatang, abuthang, dst " (udana ) yang memungkinkan terjadinya pencerahan diriNya sehingga terbebas dari samsara ini.(Pakar Buddhism menyatakan Nibbana adalah Realitas transendent yang Impersonal ...bukan atta pribadi atau yang bisa dianggap/ mengklaim sebagai "diri" karena magga phala pencapaian "wilayah" kesadaran diri ini harus dicapai melalui kesadaran "tanpa diri " (sakayadithi pancakhanda - diri samsarik dst) ... Susah, ya? saya sendiri bingung mau mengatakan apa. Mudahnya demikian ... anggaplah sesorang ( katakanlah A) lelah terjaga kemudian tertidur, pulas hingga bermimpi. Dalam mimpi tersebut dia memerankan figur berbeda bisa jadi multi peran dan aneka peristiwa (walau yang bermimpi A namun bukan A yang terjaga ... jadi katakanlah A' A aksen .... A yang bermimpi ). Ketika bangun terjaga dia mendapatkan  keberadaan yang berbeda lagi dengan mimpinya. Samsara bisa dipandang sebagai mimpi tersebut. Figur A' - A aksen dengan segala atribut peran mimpinya itu disebut 'diri" untuk Figur A yang real dan sudah terjaga (tidak lagi A aksen tadi). Bingung, ya .... cobalah anda ganti A dan A aksennya. (Itu hanyalah cara pandang hal yang sama namun dengan sudut yang berbeda dari tanazul - taraqqi : kejatuhan dalam keterlelapan  dan keterjagaan dari keterlelapan dst )
Intinya demikian pandangan kami tentang kesempurnaan yang tidak hanya acinteya namun advaita untuk dibahas. kebijaksanaan Nibbana mungkin adalah batas akhir yang bisa secara bijak dicapai (Buddha dan juga lainnya) dalam melampaui samsara yang tidak diketahui awalnya (secara individual ) dan kapan berakhirnya  (secara universal) ...pengakuan autentik Buddha. (mengapa ?). Ini dicapai dalam progress simultan dan berkaitan melampaui individualitas diri (eksistensial,universal hingga transendental )
Lantas ... bagaimanakah kesempurnaan advaita tersebut ? secara hipotetis ini baru bisa dicapai jika terlampaui tidak hanya universalitas diri (bukan individual tetapi universal ..... bayangkan wilayah nama tanpa rupa "batin tanpa materi" hanya ada Anenja Brahma, suddhavasa dan Nibbana tidak ada lagi alam dunia, apaya, surga , rupa brahma) namun juga trandentalitas diri (bayangkan wilayah dvaita nibbana  dan advaita itu sendiri tiada samsara  imanen lagi). Demikian analogi gambaran saguna -niskala mandala ini. Ini gambaran Dia yang belum terjaga dari dvaita samsara nibbanaNya. Bagaimana jika Dia terjaga dalam advaita dan melampaui nibbana (samsaraNya) ? dst.
(Pusing ya .... karena jelas kita yang masih "ndagel" dalam peran samsarik di dunia ini tidak mungkin ada disana maka kita cukupkan disini saja)

Walaupun fenomena mandala ini memang beragam level & labelnya (terpilah > terpisah ?) namun secara realitas terpadu adanya (esensi>energi>materi).  

Kutipan : 
So, tetap realistis tidak opurtunis (karena walau samsara ini delusif namun tidak terlalu chaotik ... Niyama Dhamma yang Impersonal Transenden cukup kokoh menyangga permainan "abadi" nama rupa di samsara ini ... perlu keselarasan, keberimbangan dan kebijaksanaan untuk tidak perlu melakukan penyimpangan, pelanggaran bahkan penyesatan yang akan menjadi bumerang kelak ... kemurnian diutamakan tidak sekedar "kelihaian" ). … ingatlah tidak hanya ucapan yang diungkapkan dan tindakan yang dilakukan bahkan konten perasaan dan fikiran kita akan berdampak juga pada keberlanjutan diri kita nantinya apalagi jika harus ditambahi dengan beban tambahan karena penderitaan dan penyesatan atas lainnya… keburukan dan kebaikan walau tidak selalu instan ataupun identik potentially akan berbalik juga ke sumbernya siapapun kita (orang biasa atau tokoh terkemuka , tidak hanya manusia namun juga semuanya termasuk brahma, mara, dewata, asura apapun identifikasi yang kita anggapkan bagi diri sendiri atau pengakuan yang kita harapkan dari lainnya). ..... Kebodohan, kesalahan dan keburukan harus secara perwira perlu ditanggung secara mandiri (/bersama?) demi/bagi keadilan, keasihan dan kearifan mandala ke-Esa-an ini. (demi tanggung jawab tersebut jangan harapkan pengampunan kosmik, penghangusan karmik bahkan ... maaf .... "kemahiran (dengan kepalsuan/kelihaian/keculasan bukan kebenaran/kebijakan/kebajikan seharusnya) ? " internal yoniso manasikara / sati sampajjana demi kasih universal untuk tidak menyusahkan/ menyesatkan lainnya).  Sedangkan kebijakan, kebenaran dan kebajikan tetaplah sucikan kembali transenden impersonal dalam anatta diri bukan hanya karena sekedar anicca namun juga untuk melampaui dukkha dalam keselarasan atas kesedemikianan yang wajar dalam peniscayaan .
kebenaran bersikap, kebijakan berpribadi dan kebajikan berprilaku tetaplah berguna (bahkan kalaupun saja semisal jika kehidupan ini ternyata hanyalah vitalitas kebebasan semu & liar belaka /ahetuka ?/ sehingga sama sekali tidak ada dampak karmik secara metafisik atas effek kosmik yang berlangsung /tiada pelayakan tihetuka bagi pemurnian untuk penembusan/ pencapaian / pencerahan, minimal perolehan deposito 'liburan' surgawi (?) ... itupun tetap berdampak positif dalam kebersamaan sosiologis di sekitarnya (kenyamanan kepercayaan, kebahagiaan, dsb) minimal secara psikologis (tiada penyesalan karena tidak bertindak buruk, tanpa kekecewaan karena mampu berprilaku baik sehingga tanpa perlu kerisauan/kecemasan lagi ketika masih hidup bahkan jikapun harus melepaskannya kala meninggal dunia .... walau belum ideal berlevel  ariya,,mampu tihetuka bhavana, mulia layak surga, mantap secara duniawi, dsb  ; Jika memang tiada dusta buat apa berduka ... walau memang tentu saja harus tetap perwira bersedia bertanggung-jawab untuk menerima apapun juga konsekuensi kemungkinan kompleksitas dampak karmik dari effek kosmik yang dilakukan tindakan / ucapan, fikiran/perasaan dsb ? Fair perwira diterima ... bukan hanya atas kebenaran, kebajikan dan kebijakan namun juga kebodohan, kesalahan dan keburukan bahkan juga kepalsuan, kebejatan dan kekejaman yang telah kita lakukan selama samsara ini. ). Segala hibrah kenyataan memang perlu terjadi sebagaimana hikmah kebenaran yang seharusnya terjadi ... walau tidak selalu identik apalagi instan (dikarenakan 'kebetulan / digariskan' ?  memang ada kompleksitas banyak faktor yang bermain di sana) . Tidak ada yang salah dengan fenomena eksternal bagi diri dengan realitas internal yang memang sudah senantiasa berusaha, terbiasa apalagi memang sudah terniscaya untuk selalu swadika terjaga tanpa perlu noda asava (miccha ditthi, mana, tanha & avijja vipalasa lainnya) untuk senantiasa jernih mengamati (yoniso manasikara?), dengan tegar menjalani (sati sampajjana?) dan bijaksana untuk mengatasinya (appamadena sampadetha?). Well, Realitas tilakhana Kebenaran yang nyata dalam setiap fenomena kenyataan yang tergelar memang seharusnya terjadi sebagaimana kelayakan keniscayaannya walau itu mungkin saja tidak sesuai dengan keinginan/ harapan / sangkaan kita semula. 
Jadi  turun level agak romantis lagi, nih .... ingat refleksi pribadi "Kun Saidan" (Berbahagialah - Anisah May dari Tasauf Modern Hamka ) ... Just loving the Love. Cintailah Cinta (Sumber Sejatinya bukan sekedar Media Obyeknya). Cintailah Tuhan (baca: Kebenaran) sebagaimana kehendakNya bukan hanya sekedar untuk mengumbar kepentingan ego yang selfish. Karena apapun yang diberikanNya (sekalipun seburuk atau seberat apapun itu tampaknya di permukaan) adalah tetap yang terbaik bagi kita ... karena itu demi kebaikan pemberdayaan kita bukan untuk memperdayakan kita. Atau dalam Mistik Theosofi dikatakan Tuhan menjadikan ini semua dengan cinta oleh karenanya dengan cintalah hendaknya kita menempuhnya untuk memahami dan mencintai kebenaran itu sebagaimana adanya..
3 dantien = akal - hati - pusat (tidak ada yang salah dari semuanya jika selaras terpadu ?)
 Wah, agak melantur tampaknya bahasan kearifan samsarik & curhat pribadi ini. Semoga para Neyya (terutama para pabajita) tetap mampu waspada terjaga dan tidak hanyut terbawa arus idea ini. Para Mistisi (Tantrik Osho, Taoism ?) kadang terjebak dan tersekap dalam labirin sex - cinta - kasih ini. Sex atau birahi (kama) bersifat nafsu sensual, cinta (sneha) bersifat personal , sedangkan kasih (metta) bersifat kosmik impersonal. Ini kami ungkapkan bukan hanya karena kami memandang tetap perlunya pembabaran Saddhamma yang walau memang ditempuh secara eksistensial hendaknya juga melampaui universal untuk menjangkau transendental demi transformasi pencerahan spiritual yang dijalani. Alasan lain adalah dikarenakan kami memandang living kosmik ini utuh dalam keseluruhan (katakanlah semacam organisma besar) maka perlu perimbangan kemurnian nirvanik yang arif/kuat mengatasi kecenderungan alami samsarik yang 'naif/liar' untuk membuatnya cukup 'sehat/ tepat' agar tetap mantap bertahan dan lancar berjalan. Jikapun tidak memungkinkannya dalam keterjagaan pencerahan total keseluruhannya minimal tidak membuatnya jatuh terpuruk dalam kehancuran. Meminjam istilah Sadhguru Yasudev (?), Karma samsarik sesungguhnya tidak hanya berdampak sebatas pada pribadi eksistensial pemerannya saja namun juga bereffek pada wadah arena semesta universal yang menampungnya. Atau menganalogikan dalam Mistik Hinduism (day & night of Brahman ) seandainya samsara ini hanya Ke-Esa-an yang terlelap bermimpi, maka jika beliau terjaga semoga senantiasa lebih segar karena kecerahan tidur tanpa "mimpi buruk"nya ....mungkin perumpamaan itu bisa menjadi pemicu baru mengapa transendensi eksistensial evolusi pribadi perlu dijalankan dan transendensi universal harmoni dimensi perlu diusahakan ... 
(sekedar tambahan terma filsafat theosofist ini : eros - filia - agape ? cinta sensual - altruisme kemanusiaan - kasih keIlahian )
So, Be Selfless (not  selfish ? ) 

Selain sesumgguhnya memang tanpa perlu lobha  kemelekatan & dosa kebencian pada apapun/ siapapun juga .. yang perlu dihindari lagi adalah adalah moha kebodohan beraku pembandingan diri mana kesombongan atas kesetaraan segalanya.
Cobalah untuk tidak merendahkan sesuatu demi meninggikan lainnya (ide atau bahkan ego diri) Untuk beranjak dari eksistensial menjadi transcendental kita harus bersikap universal. (Universalisasi diri sesungguhnya kunci gerbang pertama dan utama spiritualitas transenden)  
Fahamilah trick rasionalisasi pembenaran / irrasionalitas perendahan yang walau terkadang diakui sebagai kecakapan yang mengagumkan dan menguntungkan bagi sebagian besar kita dalam komunitas kebersamaan namun sesungguhnya dalam pandangan Saddhamma – Dhamma Sejati itu adalah upaya pembodohan yang sangat parah bahkan kebodohan yang amat payah … ingatlah tidak hanya ucapan yang diungkapkan dan tindakan yang dilakukan bahkan konten perasaan dan fikiran kita akan berdampak juga pada keberlanjutan diri kita nantinya apalagi jika harus ditambahi dengan beban tambahan karena penderitaan dan penyesatan atas lainnya… keburukan dan kebaikan walau tidak selalu instan ataupun identik potentially akan berbalik juga ke sumbernya siapapun kita (orang biasa atau tokoh terkemuka , tidak hanya manusia namun juga semuanya termasuk brahma, mara, dewata, asura apapun identifikasi yang kita anggapkan bagi diri sendiri atau pengakuan yang kita harapkan dari lainnya). Dalam posting Sita Hasitupada  … apakah anda mengira Buddha Gautama tersenyum karena dia bangga akan telah tercapainya kebebasan pencerahannya dan memandang rendah mereka yang masih belum terjaga bahkan lelap bermimpi dalam keterbatasan panna kebijaksanaannya? Kami memandangnya tidak demikian… Dia tidak mungkin transendental mencapai nibbana jika masih ada naifnya keakuan untuk berbangga menyombongkan diri atas lainnya apalagi karena merasa bahagia atas derita makhluk lain yang belum terjaga (malah level eksistensial tidak universal?). Itu adalah senyum murni kearifan sakshin (istilah mistik “penyaksi”?) atas kesedemikianan Realitas Dhamma atas  fenomena dhamma yang internal/eksternal – individual/universal – eksistensial/transcendental. Dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra (Mahayana ?) Buddha Avalokitesvara memandang segalanya walau memang beda namun setara tanpa perlu memperbandingkan dualitas pembeda (amala – avimala … suci – tidak suci). Desain advaita memang sedemikian adanya tanpa perlu mana kesombongan identifikasi semu pengakuan diri apalagi autorisasi untuk memanipulasi lainnya sehingga .universalisasi kasih eksistensialitas ‘diri’ para Ariya itu kiriya non karmik .. murni apa adanya sebagai aktualisasi kewajaran (karena memang keterjagaannya) tidak lagi sekedar pelayakan kesadaran (karena perlu keterarahannya) apalagi deficiency pencitraan (karena demi kepamrihannya).
Lagipula komik Chimni dan Kenji walau bersetting martial art sama sekali tidak mengajarkan kita untuk menjadi berandalan tengik yang tranyakan memamerkan kenakalan untuk mencari perhatian atau memaksakan keinginan atas lainnya dengan kemampuan yang dimilikinya. Chimni mengisahkan kecerdasan dan ketaktisan seorang pemberdaya autodidak mengatasi permasalahan yang dihadapinya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Kenji disamping memberikan referensi aneka teknik martial art juga filosofi yang menarik terutama di akhir kisahnya…

Edwin Arnold : 
Orang yang tidak mengejar apa-apa akan mendapatkan segalanya. 
Dan ketika ia membuang ego, alam semesta itulah yang menjadi egonya.
Orientasi keberdayaan ini mirip dengan quote  kebahagiaan Buddhist (fake ? – Bodhipaksa): 
A man said to the Buddha, “I want Happiness.” 
Buddha said, first remove “I”, that’s ego,
then remove “want”, that’s desire.
See now you are left with only Happiness.
Seorang pria berkata kepada Buddha, "Saya menginginkan Kebahagiaan." 
Buddha berkata, pertama hapus "aku", itu ego, (atta ?)
lalu hapus "menginginkan", itu keinginan. ( tanha?)
Lihat sekarang Anda hanya tersisa dengan Kebahagiaan.

Pandangan paramatha ini mungkin terasa sangat filosofis( tidak praktis /positivist ?)
Being Nobody for  in deserving (but  and transcending!) everything
Menjadi impersonal (tak seorangpun/ bukan siapa-siapa) dalam untuk melayakan (dan melampaui) segalanya
Daripada Being somebody for having (but attaching?) something
Menjadi personal (seseorang ) untuk memiliki (tetapi melekat) pada sesuatu
Mungkin harus diganti preposisi for dengan in.(dikarenakan ini adalah keberadaan meditatif bukan tindakan reflektif )
Namun esensinya adalah jangan terlalu mengumbar keakuan juga keinginan untuk menjadi berdaya dan bahagia.
Kebahagiaan tidak identik dengan berlimpahnya perolehan tetapi juga terutama mensyukuri penerimaan. Kesejahteraan akan positif jika disikapi dengan santuti kecukupan dan saling berbagi namun negative jika malah menjadikan tamak serakah bahkan kikir .  Demikian juga keberdayaan tidak identik dengan pencapaian keberdayaan saja tetapi juga dibarengi dengan pencerahan kebijaksanaan juga.

Well, Spiritualitas walau tampak sederhana memang sangat complicated (satu gerbang ilmu hanya bisa dibuka jika wilayah ilmu-laku-teku sebelumnya bukan hanya telah difahami dan dijalani namun telah dicapai / dikuasai dan tanpa dilekati perlu dilampaui untuk memasuki gerbang berikutnya). Lagipula kita juga perlu realistis dengan segala keterbatasan dan pembatasan yang ada termasuk dan terutama keberadaan diri .... sudah layak atau belum. (Nibbana baru bisa tercapai dalam Panna keterjagaan  sempurna magga phala tidak sekedar sanna persepsi sebenar apapun pandangannya tidak juga tanha obsesi sehebat apapun pengharapannya).
So, sebagaimana wadah yang kosong, resik dan terbuka yang memungkinkan terisi lebih penuh, murni dan terjaga bukan hanya perendahan keakuan untuk melayakkan peningkatan reseptivitas diri namun tampaknya perlu penghampaan keakuan untuk lebih melayakkan penyelaman/ pencerahan yang lebih dalam lagi.
Spiritualitas yang dewasa mutlak memerlukan kelayakan dengan pemastian kehandalan bukan sekedar pelagakan meyakinkan kecitraan belaka. Pencapaian keberdayaan untuk menghadapi segala kemungkinan tidak sekedar menggantungkan pengharapan kepercayaan yang bisa saja semu adanya... kemelekatan fanatis atas dogma justru akan bisa kontraproduktif sebagaimana pelekatan naif lainnya.
Fokuskan saja realisasi pada pelayakan Ariya .... Nibbana atau Samsara terserah Niyama Dhamma. Di wilayah manapun dalam peran apapun pada situasi dan kondisi apapun juga seorang Ariya tetap akan mampu bermain apik tidak hanya secara cerdas tetap swadika dalam keterarahan namun juga tetap dengan cantik tanpa mengacaukan segalanya. (Ibaratnya CR7 atau Lionel Messi yang walau sesungguhnya bisa mengatasi bermain bola di klas liga dunia namun jika hanya tampil di turnamen kampung .... pasti akan lebih menguasai tentunya). Pencerahan adalah utama ... pembebasan 'hanyalah' bonusnya saja. Obsesi internal sebagaimana ambisi eksternal adalah tanha yang tersamar sebagaimana juga avijja lainnya (Ashin Tejaniya : jangan remehkan asava defilement karena ketika peremehan dilakukan anda sesungguhnya terlecehkan sendiri karena dijatuhkan dengan kesombongan anda ... awas spiritual materialism Chogyam Trungpa)
ASHIN TEJANIYA Dari listing of ART BLOG OKE.rar
Name
Last modified
Size


28-Mar-2020 22:14
-
28-Mar-2020 22:14
-
28-Mar-2020 21:04
9.9M
CHOGYAM TRUNGPA
Dari listing of ART BLOG OKE.rar

Link Video :

Keswadikaan pemurnian kesejatian : dari MLD (moha - lobha - dosa) /asava (anusaya- nivarana- kilesha vs panna- samadhi- sila ? )
kewajaran meng-esa & kesadaran anatta ( Taoism weiwuwei = action without actor / acting ?.... just process )

1b. Talenta :
Talenta berkaitan dengan bakat zarah Bhavana untuk bawaan selanjutnya
Intelgensia kecerdasan tidaklah sebatas fitrah naluri ego belaka namun juga nurani ke-Esa-an  ... tidak sekedar instink, ataupun sebatas intelek belaka (cogito ergo sum, Rene Descartes ? ) namun membentang luas dan dalam (intuisi, insight, etc). Sejumlah manusia (tanpa menafikan para ariya & anariya di dimensi lainnya : asura, dewata, brahma, dsb ) walau dalam keterbatasan & pembatasannya sebagai mikrokosmos bagian dari Living Makrokosmos yang tidak sekedar eksistensial namun juga universal bahkan transendental mampu bukan hanya mengalami namun juga menguasai bahkan melampaui level ini 
Berikut Table intelgensia kecakapan Z (Eneagram 9 + 1= 10 ?) untuk dikembangkan

No

Level

Dimensi

Tantien pusat

Tantien hati

Tantien otak

Z

1

Elementary

3 tataran intelek

1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/,

2. EQ /Emotional Quotient - keluwesan interaksi/,

3. IQ /Intelligence Quotient - kepandaian kognitif/;

123

2

Intermediate

3 wawasan intuisi

6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/;

5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan ummi/,

4. ISQ /Intelligence Spritual Quotient - keterarahan sati/,

654

3

Advance

3 penembusan insight

7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah

8. EDQ /Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/,

9. IDQ /Intelligence Divine Quotient - Ma'rifatullooh/)

789

dalam pemberdayaannya (kesadaran, kecakapan, kemapanan dan ketaqwaan), sejumlah manusia mungkin saja mampu berkembang mendahului lainnya bukan hanya secara intelek (yang popular didewakan saat ini), namun juga intuisi (sayang sudah agak diabaikan sekarang) dan insight (sudah langka dan terlupakan?). 9 kecerdasan mungkin tercapai ( 3 tataran intelek =1. AQ /Adversity Quotient - ketahanan berjuang/, 2. EQ /Emotional Quotient - keluwesan interaksi/, 3. IQ /Intelligence Quotient - kepandaian kognitif/; 3 wawasan intuisi = 4. ISQ /Intelligence Spritual Quotient - keterarahan sati/, 5. ESQ /Emotional Spiritual Quotient - keihsanan ummi/, 6. ASQ /Adversity Spiritual Quotient - kemantapan yogi/; 3 penembusan insight = 7. ADQ /Adversity Divine Quotient- mukasyafah/, 8. EDQ /Emotional Divine Quotient - Mahabatullooh/, 9. IDQ /Intelligence Divine Quotient - Ma'rifatullooh/) namun demikian jika tidak dibarengi dengan orientasi kesadaran 10 maka itu semua tanpa makna. Realisasi Kecerdasan tingkat 10 (baca: sepuluh) atau orientasi kesadaran 10 (baca: satu-nol) ini mungkin yang dimaksudkan sebagai insan kamil, homo novus (New Man) atau apapun istilahnya – suatu pencapaian kesempurnaan manusia dalam keterbatasannya. Namun sebagaimana proses pemberdayaan dan orientasi ketawaddhuan sebelumnya inipun harus dianggap hanya sebagai proses berkelanjutan bukan maqom penghentian. Inilah perbedaan yang mendasar antara kesejatian pencerahan bijak seorang panentheist, keimanan sejati para monotheist atau bisa jadi pencarian murni kaum heretis dengan kesemuan ‘pencerahan’ pantheist, ‘wawasan’ agnostic, maupun ‘pandangan’ atheist. Keberkahan dan pemberkahan hanyalah dari, oleh, untuk dan kembali kepadaNya. Realisasi kebenaran bukan identifikasi pembenaran. Dalam keikhlasan bukan dengan kepamrihan. Senantiasa memberdaya diri secara berkelanjutan dalam JalanNya (sesuai fitrah yang ditentukanNya) dan tidak terperdaya setinggi apapun perolehan yang dicapainya (menurut anggapan kerdil terhadap diri sendiri maupun pengakuan semu dari orang lain

Tentang kesaktian metafisik dalam penempuhan kemurnian spiritual : 
Link lain :
 
Well, godaan & cobaan Ego dalam pemurnian kesejatian sadhaka adalah dalam kemelekatan (apalagi keserakahan) dengan perolehan kesejahteraan (duniawi/surgawi) & keperkasaan (kesaktian/keilahian?) walau niatan yang tidak benar, bijak & bajik dalam kemurnian itu memang memungkinkan untuk terjadi bagi para yogi meditator handal sekalipun (kelihaian memanfaatkan mekanisme kaidah sistem kosmik demi kepentingan pribadi) . Bukan untuk niatan menghibur diri sebagai padaparama dihetuka jika kami jujur mengatakan : jangankan untuk melampaui untuk menguasai / memiliki saja sulit .... nggak bisa, hehehe.  Setiap level memiliki prasyarat & labirin jebakannya sendiri ... semakin dalam, semakin berat. Inilah seninya kembali murni dalam kesejatian yang anatta .... kawan & lawan setiap diri adalah dirinya sendiri (asava internal bukan dunia eksternal ... sebagaimana di kedalaman bukankah demikian juga di permukaan ?). Singkat kata, kemurnian haruslah ditempuh dengan, dalam & untuk kemurnian juga ... walaupun kesaktian & perolehan kecakapan/ kemapanan/ kekuasaan lainnya  memang bisa didapatkan karena memang ada korelasi antara kemurnian sila, samadhi & panna dalam mandala kesunyataan ini. Dalam asivisopama sutta Buddha men-simile-kan kecenderungan kita ini sebagai pencuri (bagi pemegahan semu) bukanlah kebijaksanaan penempuh (demi kebenaran sejati) ?
(See : keteladanan Buddha untuk melampaui  di bawah) 
Kutipan lengkap komentar Bahiya :  DATA 01022021/PRIOR/KOMENTAR VLOG TQ SD 13012020 LAGI.pdf  p.6 

Anumodana Bhante Ashin Kheminda dan DBS atas tayangan public Dhamma Desana Bahiya Sutta ini setelah Asivisopama sutta lalu
PROLOG  
Untuk kesekian kalinya saya harus jujur mengagumi kebijaksanaan taktis demi transendensi pencerahan yang bukan hanya translingual namun transrasional Buddha Gautama sebagaimana pembabaran alur dukkha asivisopama sutta sebelumnya untuk menyadarkan faktisitas keberadaan problem dilematik samsara diri (analisis 16 nana vipassana paska samatha : via ‘stepping stone’ nibbida untuk melonggarkan cengkeraman upadana kemelekatan papanca samsarik agar sankhar-upekkha keberimbangan formasi termantapkan - anuloma peniscayaan tersesuaikan dan transformasi gotrabu terlayakkan bagi realisasi magga-phala nibbana pencerahan sehingga keniscayaan aktualisasi kiriya non-karmik sebagai Ariya secara autentik murni terrefleksikan ).
STATISTIK ?  
Ke-Buddha-an adalah potensi nirvanik dari esensi murni segala level spiritualitas keberadaan samsarik yang harus menempuh faktisitas penempuhannya masing-masing . Nibbana adalah keterjagaan dan samsara adalah keterlelapan. Buddha sesungguhnya adalah Dia (semoga juga kita semua akan demikian) yang sudah bangun terjaga dari mimpi tidur samsariknya. Semua bhava samsara sesungguhnya (disadari atau tidak) adalah pengarung Dharma keBuddhaan di samudera samsara walaupun dalam label eksistensial bukan penganut ‘agama’ Buddha. So, (maaf) jangan terdelusi statistic kuantitas populasi Buddhist di permukaan.
Buddhisme yang dibabarkan Buddha Gotama adalah segenggam permata kebijaksanaan simsapa yang karena jangkauan pemberdayaannya sangat luas (tidak hanya untuk pendewasaan pribadi, keharmonisan duniawi, perolehan surgawi, pencapaian brahma, kemampuan abhinna namun bahkan terutama pemurnian bagi keterbebasan dari samsara ini) relative bukan hanya tidak lebih mudah difahami namun juga akan cukup susah untuk dijalani bagi semua bhava samsara yang masih terlelap dalam mimpi keakuan, terseret dalam banjir kemauan, tersekap dalam kesemuan , terjebak dalam kenaifan, dsb… sedangkan demi kelayakan penempuhan (terutama untuk ‘uncommon wisdom’ pembebasan) sejumlah kode etik kosmik kemurnian yang tidak selalu ‘popular’ dengan kecenderungan pembenaran samsarik kepentingan ego mutlak memang perlu dijalankan pelayakannya, antara lain kedewasaan menerima, mensikapi dan melayakkan diri atas kaidah karma ( > pembenaran manipulatif kepercayaan harapan/anggapan akidah pengampunan/ pelimpahan) , kemurnian aktualisasi holistik (> defisiensi kepamrihan/ pencitraan) , refleksi kasih murni tiada batas tanpa eksploitasi standar ganda, menjaga harmoni keseluruhan sebagaimana yang Beliau niscayakan tanpa noda (identifikasi pembanggaan kesombongan diri), tiada cela (eksploitasi pembenaran kepentingan diri) tetap bermain ‘cantik’ (harmonisasi transenden pada wilayah immanent … walau memiliki Dasabala keunggulan adiduniawi tetap bijak dan murni terjaga tidak memanipulasi tataran samsara duniawi dibawahNya …. karena walau samsara 'hanyalah' fenomena bayangan kenyataan semu dari Realitas kebenaran Nibbana namun adalah tetap tidak etis bagi yang telah terjaga melanggar ‘aturan main’ wilayah mimpinya . Samsara dalam advaita mandala ini tampaknya memang perlu ‘ada’ bukan hanya sekedar menampung aneka kehebohan pagelaran chaotik drama delusive bagi keterlayakan level episode berikutnya namun juga demi tetap berlangsungnya keberagaman pada kasunyatan abadi ini?) dalam masa pembabaran Dhamma paska pencerahan hingga parinibbana kewafatanNya (laporan ‘pandangan mata batin Ariya’ proses adiduniawi non-empiris paranibbana Beliau oleh Arahata Anurudha kepada Sekha Ananda atas validitas konsistensi keniscayaan Magga Phala Samma-SambuddhaNya).
BAHIYA SUTTA ?  
Dari prolog dan komentar awal tampaknya karakteristik alur tema Anatta akan dibabarkan pada sessi Bahiya Sutta ini. Sangat menarik untuk disimak karena pra asumsi awal kami … dari tilakhana, anatta adalah factor krusial pembeda yang membuat Ariya Dhamma ini bukan hanya melingkupi (bisa mencapai) namun juga mengungguli (bisa melampaui) lainnya (lokiya : asura dewata/ anenja brahma ?). Faktor Anicca dalam batas tertentu memang bisa difahami dan dilalui lokiya dhamma (norma duniawi – etika surgawi .. awas /ditthi + tanha/ dan sangat liarnya sensasi kemauan yang bisa menjerumuskan ke Lokantarika paska pralaya 2 ?) , factor dukkha pada level tertentu juga masih bisa disadari dan dicapai anenja dhamma ( unio mystica – pantheistics … awas /mana + avijja/ plus masih naifnya fantasi keakuan dimensi Abhassara untuk menyeret kembali dalam perangkap samsara paska pralaya 4 ? ) namun annata adalah factor penentu yang memungkinkan lokuttara dhamma ini mampu mengaktualisasi kemurnian penempuhan (> defisiensi kepamrihan & pencitraan) secara konsisten meniscayakan ‘peniscayaan/ keniscayaan’ dalam kelayakan realisasi pencerahan transeden (keterjagaan dari keterlelapan mimpi/ delusi samsara ini – keterbebasan ‘esensi murni’ ke-Buddha-an dari cangkang delusi ‘pancupadana khanda’ tanpa kebodohan identifikasi dan eksploitasi pembodohan dari keterpedayaan/ ketersesatan/ keterperangkapan intra-drama pengembaraan semu samsara ini kembali (singgah/pulang) ke ‘rumah sejati’ Nibbana ).
EPILOG
Dalam mandala advaita kasunyatan abadi ini sebagaimana samma-panna nibbana yang perlu disadari dan ditembus daya sentrifugal kebijaksanaanNya demikian pula tanha-avijja samsara tampaknya juga perlu difahami dan dilampaui daya sentripetal kecenderungannya. So, sebagaimana harmoni musik peregangan senar kecapi walau viriya memang diperlukan untuk mensegerakan dan konsisten dalam penempuhan namun tampaknya perlu juga panna kebijaksanaan untuk menjaga keberimbangannya dalam kewajaran harmonisasi eksistensial maupun kesadaran transendensi spiritualnya.
Semoga refleksi epilog ini tidak menjadi anti klimaks yang dianggap mementahkan samvega kegairahan yang tengah dibangun para Neyya Buddhist (karena ini juga akan berdampak merugikan bagi para truth seeker dalam menyerap referensi yang diperlukan bagi wawasan pengetahuan dan tataran penempuhannya juga).
Salam Namo Buddhaya dari padaparama di 'luar' sasana. 

1c. Visekha:
Visekha berkaitan dengan hisab karmik Sila untuk bawaan berikutnya
atau tabel hipotesis yang agak 'gila' dari kami ini 

 

Wilayah

1

2

3

Transendental

Nibbana ‘sentra’ ?

Belum diketahui ? 7

Tidak diketahui ? 8

Tanpa diketahui ? 9

 

Nibbana ‘sigma’?

Belum mengakui ? 4

Tidak mengakui ? 5

Tanpa mengakui ? 6

 

Nibbana ‘zenka’ ?

Arahata 1

Pacceka 2

Sambuddha 3

Universal

Brahma Murni  (Suddhavasa)

Anagami 7 (aviha Atappa)

Anagami 8 (Sudassa Sudassi)

Anagami  9(Akanittha)

 

Brahma Stabil (Uppekkha )

jhana 4 (Vehapphala)

Asaññasatta 5 (rupa > nama)

Anenja 6 ( nama > rupa arupa brahma 4 )

 

Brahma mobile (nama & rupa)

Jhana 1 (Maha Brahma)

Jhana 2 (Abhassara)

Jhana 3 (Subhakinha)

Eksistensial

Trimurti LokaDewa

Vishnu 7 (Tusita)

Brahma 8 (Nimmãnarati)

Shiva 9 (Mara?  Paranimmita vasavatti)

 

Astral Surgawi

Yakha  (Cãtummahãrãjika) 4

Saka  (Tãvatimsa) 5

Yama (Yãma)6 

 

Materi Eteris

Dunia fisik(mediocre’ manussa  &‘apaya’ hewan iracchãnayoni) 
+ flora & abiotik ? / 1
Eteris Astral apaya (‘apaya’ Petayoni & ‘apaya’ niraya)
2
Eteris Astral apaya Asura  (petta & /eks?/  Deva ) 
3
tampaknya pada kolom universal Uppekha Brahma yang relatif stabil (maksudnya tidak mobile / fragile tidak begitu labil sehingga lolos sementara tidak terkena dari siklus rupa pralaya samsarik dimensi 'materi' : dunia 1 + apaya 4 & juga surga deva kamavacara 6  & Rupa Brahma 3 dibawahnya sebagai rupa lokantarika di antara Brahmanda & lokuttara nantinya sebelum siklus berikutnya) perlu digeser posisi antara anenja 5 & asannasata 6 ... bukan hanya dikarenakan life span (masa hidup) namun juga dari ketangguhan samadhi mereka dalam labirin kosmik paralel penembusan saddhamma. Asaññasatta tersekap (terjatuh) dalam rupa sedangkan anenja 'hanya' terjebak (terlelap) dalam nama. Direvisi resumenya?. Atau bisa juga Brahma Vehappala 4 digeser ke tengah jadi nomor 5 karena keseimbangannya sebagai nama atas rupa (BUKAN KESOMBONGAN, KESERAKAHAN & KEBENCIAN, LHO) dibandingkan  Asaññasatta 4 yang menolak nama batin bahkan malahan menjadi melekat pada rupa materi bahkan mungkin juga justru nomor 6 mengungguli anenja yang terlelap dalam nama dan acuh dengan rupa pada level anariya (?) walau memang memiliki masa hidup (life span) yang lebih lama dibandingkan para Brahma lainnya (bahkan termasuk Ariya anagami suddhavasa di  level atasnya) berdasarkan kalkulasi matematis Gnosis Buddhisme. Direvisi lagi resumenya ?
apaya asura ? hehehe, tampaknya itu rahasia kosmik, guys. Vishnu mungkin tidak suka namun tampaknya tidak bagi Shiva yang arif, Brahma dan Saka memang ahli & baik namun  naif  untuk hal ini. Dalam permainan samsarik ini keberadaan guardian "penyeimbang" bagi keberlangsungan kesemuan, kenaifan & keliaran hingga perlunya serial recycling daur ulang pralaya   perbaikan kerusakan paska kekacauan dimensi tampaknya memang perlu ada. Tanpa maksud  mencela & membela, dalam diri setiap kita para zenka  pengembara keabadian tampaknya memang masih  ada 'drive' ariya dan asura di dalamnya. Dalam dimensi kamavacara tampaknya asura, yama & mara  memang guardian utama untuk permainan samsarik di level bawah, tengah & atas. Ini sebetulnya bahasan paling menarik namun sayangnya akan sangat sensitif  tampaknya  (sungkan, ah) referensi acuan?  intinya tetaplah autentik & holistik (tidak identifikatif apalagi manipulatif) 

Kutipan :
3b) (Membicarakan soal Kebenaran dan Agama.docx). 
semoga tanggap demi empati, harmoni, sinergi. kebersamaan semua. 
/mencela itu tercela bukan hanya untuk yang tidak selayaknya dicela bahkan juga jikapun dianggap layak untuk itu awas kesombongan, jaga keseimbangan demi kebijaksanaan akan Kesunyataan holistik / 

So, jadilah berkah yang mencerahkan/ memberdayakan bukan limbah yang menyusahkan/memperdayakan di/ke manapun kita berada bukan hanya bagi diri sendiri namun juga makhluk lain di setiap living cosmic ini.  So, pastikan keberdayaan Saddhamma bukan hanya yakinkan kepercayaan belaka! penempuhan nyata tidak sekedar pengetahuan belaka. Saddhamma adalah aktualisasi autentik pemastian sesuai kaidah Realitas bukan sekedar harapan persangkaan keyakinan saja (Real realized>identifikatif & manipulatif ?).  
Bijaksanalah untuk senantiasa bersiaga dengan segala kemungkinan sejati yang /akan/ ada (kualitas transendensi ariya > mahakammavibhanga 4 > ekspektasi asura ? ) minimal bersiaplah menerima, menghadapi dan melampauinya (realisasi level swadika, kualifikasi genia talenta & hisab visekha)  ! 

(See = siklus samsarik gnosis fase 3 mandala di atas : sungkan & riskan bilang sebetulnya .... BTW sekarang tanggap ya mengapa & bagaimana dalam gnosis buddhisme siklus pralaya samsarik terjadi bukan hanya pada dunia, apaya namun juga surga bahkan hingga rupa brahma jhana 3 ) 

So, spiritualitas memang mutlak mengharuskan kemurnian bukan sekedar kelihaian (terkadang segala kenekatan penempuhan, kehebatan pencapaian & kehebohan perolehan sering menjadi labirin jebakan penjerat/penjebak/penjatuh yang sangat ampuh bagi yang belum terjaga & tidak waspada apalagi jika caranya bertentangan dengan Saddhamma ... bumerang, guys). 

Cari quote video Mahadeva Shiva yang menyayangkan motif Asura karena memujaNya demi transaksi hadiah kekuatan/kemuliaan bukan demi pensucian kesejatian yang seharusnya lebih berguna demi transformasi diri. (memberatkan keakuan & mengumbar kemauan ... kebodohan internal dengan pembodohan eksternal ?) Shiva memang fair mengesankan kesemuanya dan tidak mengenaskan, bukan typical personal god laten deitas yang naif & liar untuk dieksploitasi karena harapkan pengakuan/ pemujaan apalagi persaingan & kebencian /kesalah-fahaman Asura yang fatal dalam persangkaan & pandangannya dalam/sebagai ke-Ilahi-an?) .... bagi pemurnian autentik kesejatian harusnya bukan demi transaksi kepamrihan pencitraan  yang semu, nsif & liar yang merugikan perkembangan pencapaian spiritualitas semuanya. Har har Mahadev seri berapa, ya ? (lupa tayangan TV dulu). Jika saja memang benar level Shiva Mahadeva Hinduisme setara dengan Mara Buddhisme ini tetaplah menjadi keunggulanNya .. senantiasa terjaga & waspada tidak butuh pengakuan walau memang belum menyadari keanattaan realitas diri sebagaimana Buddha Tusita (avatara ke 9 Vishnu ?) yang mencapai pencerahan Nirvanik..  

Keteladanan Acinteya yang telah direalisasi& tetap dijalani Buddha  walau tanpa dipublikasi dalam simsapa sutta ini apa juga difahami & disadari Savaka-Nya ?  
Link data lain :  
Ulasan : Simsapa tipitaka + acinteya udumbara /mahakasapa/
Sayang ...hanya Bhante Mahakasapa Arahata yang memahami universalitas kaidah kosmik Buddhism yang tersirat.
Walau cenderung agak nivritti negative namun cukuplah simsapa tipitaka etc yang tersurat untuk paradigma holistik lanjut.
(Buddhism dhutanga > pabajitta >  upasaka (neyya > padaparama) > umat luar sasana > makhluk lain) 
Pro Buddhism ?  Dalai Lama  show / save
No Buddhism ? Herman Hesse  save
Ina : link sementara :  0a) (show) or  0b)(show)
 
Tentang Evolusi Spiritual =
Prediksi hipotetis figure ideal evolusi spiritual homo novus 10 
Memahami kesedemikianan = Realitas Kesunyataan & Fenomena KeberadaanPrediksi hipotetis figure ideal evolusi spiritual homo novus 10  
  
Hidup total dalam penempuhan induktif (7 dimensi?) bagi evolusi pribadi eksistensial, kebijaksanaan deduktif demi harmoni dimensi universal dan keterarahan holistik pada sinergi saddhamma transendental .... bukan hanya selfish demi ego sendiri namun selfless bagi keEsaan mandala advaita ini. dan seharusnyalah tampaknya bisa diusahakan setiap zenka berkesadaran dimanapun dimensi keberadaannya dalam segala situasi & kondisi keterbatasan dan pembatasannya sebagaimana kaidah yang diberlakukan Niyama Dhamma dalam mandala advaita ini agar tetap kokoh dalam keberadaan dan keberdayaanNya yang homeostatis, interconnected & equiliberium. Well, 7 dimensi pemurnian kesejatian= fisik, etersis, astral, kausal, monade, kosmik & nirvanik - Osho  (demi keselarasan harmonis & holistik Homo Novus Mystical Being eneagram 10 ?) 

Tantien

Pusat

Hati

Rasio

10 ?

Kalki (destroyer?)

Zorba (artistics)

Zenka? (holistics)

Ethical

Rama 7 (peaceful)

Khrisna 8 (lovely)

Buddha 9 (meditative)

Emotional

Parasurama 6 (warrior !)

Vamana 5 (insani)

Narasimha 4 (hewani)

Physical

Matsya 1 (ikan air)

Koorma 2 (amfibi kura2)

Varaha 3 (celeng darat)

Prediksi hipotetis figure ideal evolusi spiritual homo novus 10 (for the Next Mystical Being 10 ?)
1. Kalki destroyer (Ancient Hinduism Myth of dasavathara ) penghancuran addhamma di akhir yuga 4 atau hingga  menggenapi siklus pralaya samsarik rupa lokantarika Asura > progress swadika nirvanik nama lokuttara Ariya ? ironis & tragis karena kesalahan sesungguhnya bukan pada aspek khanda rupa material fisik alamiah  namun pada keburukan asava aspek nama batiniah zenkanya. / awas dosa byapada kebencian/ 
2. Zorba the Buddha (hipotesis Osho for New Man ) ? vitalisme mampu filosofis atau menjadi hedonis / awas lobha tanha ketamakan /
3. Zenka the holistics (just dream ?) ... Ariya Swadika di segala mandala / awas moha avijja kebodohan juga, lho  / 
Inilah sebabnya kami lebih suka istilah sederhana kedewasaan pencerahan ketimbang perayaan kebebasan (karena lebih : true, humble & responsible untuk tetap terjaga , menjaga & berjaga dari segala kemungkinan ... Kebenaran adalah Jalan Kita semua tetapi bukan Milik kita, Diri Kita dan Label Kita ... Anatta ? .. Well, hanya Sang Kebenaran (baca: Hyang Esa ... Tuhan Transenden dalam triade Wujud, Kuasa & KasihNya atas laten deitas keIlahianNya di segala mandala immanenNya yang nyata, mulia dan benar dalam kesempurnaanNya) yang benar. Sedangkan kita dalam keterbatasan & pembatasan yang ada memang sering bodoh, bisa saja salah, dan bahkan mungkin jatuh  namun tetap perlu segera bangkit kembali menempuh jalan benar itu dengan benar dalam niat, cara,& arah tujuannya ...  terjaga untuk evolusi eksistensial , menjaga bagi harmoni universal & berjaga demi sinergi transendental
See :  apa itu kebenaran  Bhante Pannavarro.
Well, penerimaan keterbatasan diri ini tidak dimaksudkan sebagai logical/illogical fallacy cari aman untuk rasionalisasi peninggian ide & irasionalisasi pembenaran ego bagi dalih kemalasan / pengalihan namun ini memang cara aman untuk menjaga kewaspadaan dari keterpedayaan. Membangun keseimbangan & keberimbangan dengan kebijaksanaan bukan hanya untuk tetap realistis dalam membumi namun juga  untuk tetap merealisasi transformasi diri. 

(wah ... harus revisi karya lama diri kami sebelumnya , deh ... karena kemurnian mencintai kebenaran adalah keniscayaan yang mutlak  (sudah keterarahan atau masih keterpedayaan atau dalam keterpaksaan ?) seharusnyalah ini tetap mengatasi segalanya termasuk kelihaian manipulatif pemerdayaan yang memang akan memperdayakan harmoni keselarasan bukan hanya dimensi keswadikaan diri namun juga demi kebersamaan/ kesemestaan/ kesunyataan dalam kesedemikianan desain kosmik mandala advaita ini ... sacca individual, metta universal & agape transendental as spiritual sadhana for all in 84th era dst , Sadhguru Yasudev ? 
screenshot Magical Moments at Mahashivratri 2020 @ Isha Yoga Center
Clip Sadhguru Yasudev : ts = speech 18s sd 1m5s
Welcome to Mahashivaratri 2020 
Selamat datang ke Mahashivaratri 2020
Living death is not a morbid idea 
Kematian dalam kehidupan bukanlah gagasan mengerikan 
It is a reality
Ini adalah kenyataan.
We are all living death.
Kita semua adalah kematian yang hidup.
We can say we are living or we can say we are dying and it’s not different.
Kita dapat mengatakan kita sedang hidup atau kita dapat mengatakan kita sedang mati (dan) itu bukanlah hal yang berbeda.
They’re just two different words for the same process.
Mereka hanyalah dua kata yang berbeda untuk proses yang sama
Death is not an event that happens once.
Kematian bukanlah suatu peristiwa yang terjadi satu kali.
Death is happening. It’s a process.
Kematian adalah kejadian. Dia adalah suatu proses.
One day it will be complete.
Suatu hari ini akan terlengkapi.
the most beautiful thing about life is nobody fails,  everybody shall pass .
(hal paling indah tentang kehidupan adalah tak seorangpun gagal, 
/namun demikian/ setiap orang hendaklah melaluinya /bertahan & berjuang hingga berhasil .?/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar